best person next door


Lee Heon & Jeong Yi-seo


•••

Yi-seo POV

Hari ini hujan. Bertepatan dengan hari aku pindahan. Padahal tadi pagi ramalan cuaca tidak mengatakan akan turun hujan. Rasa senyum tidak lagi manis. Baik sekali semesta. Bahkan sopir yang mengangkut barang-barang milikku terus mengeluh seakan menyalahkanku atas turunnya hujan.

Tidak apa-apa. Semua akan beres jika aku mengucapkan kata maaf. Semua hal yang mengitari duniaku memang selalu begini. Tidak ada yang berpihak disisiku.

Beberapa pekerja membantu membawa barang-barang masuk ke dalam unit yang sudah kusewa perbulannya. Setelah ini semua akan berjalan lancar, bukan?

"Duh, apa ini..?"

Mendengar suara pria itu nampak agak risih, aku hanya bisa membungkuk 90° sebagai permintaan maaf. Pria itu mengangguk pelan dan masuk apartemen yang ada di depan kamarku.

Memang karena aku tengah pindahan beberapa barang ditaruh depan kamar, bergiliran ditaruh ke dalam. Sesekali membuat penghuni yang lewat merasa kurang nyaman. Dalam sekitar 3 jam kamarnya telah selesai ditata oleh pekerja, kini tinggal dirapihkan sedikit lagi olehku.

Aku meletakkan kantong plastik berisi sampah di depan kamar. Lalu mulai menyapu, mengelap, merapihkan posisi beberapa benda. Setelah itu merebahkan tubuh sesaat di sofa. Masih hujan. Aku memejamkan mata, setidaknya suara hujan membuatku tenang.

Tok tok

Mataku segera terbuka dan membuka pintu. Ekspresi penghuni depan kamar nampak tidak baik. Aku menyatukan jari-jari di depan tubuhku, seakan otomatis bersiap untuk menerima kata kasar darinya.

"Buang sampah di depan kamar seperti ini bisa menganggu." Katanya.

Aku membungkuk meminta maaf lagi kepadanya, "saya minta maaf, saya kira ada petugas pembersih-"

"Tidak ada."

"Saya minta maaf." Tuturku lagi.

Aku sungguh menyedihkan, bukan?

"Lain kali buang sampah langsung di bawah, pisahkan sampah dengan benar." Ucapnya. Sensor telingaku mendeteksi ia melembutkan suaranya.

Pria itu kembali masuk ke kamarnya. Sementara aku membawa sampah itu masuk ke kamarku. Kembali merebahkan tubuh, menutup mata dengan lenganku, menghela napas panjang, serta air mata yang lolos begitu saja.

"Ayah, Ibu, kurasa aku baik-baik saja, tapi..."

"... ini terlalu sepi."

Seminggu sejak aku pindah dari apartemen sebelumnya, kukira kondisiku akan membaik. Namun sama saja. Aku sulit berinteraksi dengan para tetangga dan aku masih bermimpi buruk.

•••

Heon POV

Kakiku melangkah keluar dari kamar dan melihat pintu itu tertutup. Apa ia keterlaluan? Aku memperhatikan wajahnya saat itu, memang nampak sedang kurang baik. Kepalaku menggeleng merasa tindakanku sudah tepat kala itu, yang ia lakukan hanya mengingatkan, tidak mengutuk atau bersikap kasar.

Aku melanjutkan keseharianku tanpa ingin memusingkan tetangga baru depan rumah. Ekspresi wajah yang selalu kupasang memang datar— kecuali anak-anak. Bukan pedofil, aku memang suka dengan anak-anak. Memasang senyum kepada orang-orang dewasa membuat seolah kita bersikap ramah, dan hal itu bisa merambat ke hal-hal merepotkan. Maka dari itu aku tidak akan bersikap ramah kepada setiap orang.

"Pak, mau ngumpul-ngumpul bareng yang lainnya gak nanti?" Tanya salah satu rekan kerjaku.

Alih-alih tertarik akan ajakannya, rasa risih lebih mendominasi. Lagipula aku juga lelah dengan pekerjaan seharian ini. Jadi aku menolak ajakan makan bersama para rekan kerjaku. Aku lebih memilih pulang.

Menginjakkan kaki di rumah, tenagaku kembali 100 persen. Rumah memang yang terbaik. Kali ini aku akan menonton film horor dan menikmati waktu.

Aku mengganti bajuku dan duduk di sofa, tapi baru saja duduk. Aku melihat sampah yang sudah menumpuk, kakiku segera bangun dan membenahi sampah-sampah itu, memilah sebelum kubuang di tempat sampah lantai bawah.

Ketika di bawah, aku bertemu Hana dan Hajoon, si kembar cilik beda gender. Mereka tengah membuang sampah juga. Aku tentu dekat dengan mereka karena tetangga unit di atas kamarku. Saat aku pindah pertama kali kesini, keluarga mereka yang membantuku sangat banyak tanpa meminta imbalan apapun.

"Kak Heon, katanya ada tetangga baru di depan kamar kakak, ya?"

Aku mengangguk membenarkan.

"Kakak udah tau belum?"

Aku tersenyum tipis, jika kalimat awal dari 'gosip' seperti ini aku dengar dari orang lain, pasti aku langsung kabur. Tapi karena ini dari Hana dan Hajoon, aku akan mendengarkan saja. Karena cara mereka masih sangat menggemaskan, usia mereka baru 6 tahun.

"Katanya kakak di depan kamar kak Heon itu gila." Ujar Hana. Lalu Hajoon menambahkan, "kata bunda, dia yatim piatu sejak kecil, terus pindah kesini karena pacarnya muak sama kakak itu."

Eung.. kayaknya ini udah agak berlebihan. Aku berusaha mengalihkan topik agar mereka tidak lagi bercerita. Tak lama sang ibu datang membawa jajanan. Kami berbincang sebentar dan sempat menyinggung mengenai si tetangga baru itu, aku tidak mau terlalu mendengarkan, sekaligus memberi saran kepada wanita paruh baya itu agar mengurangi kadar gosip, demi anak-anak menggemaskan ini.

Langkahku memasuki gedung menjadi berat, di depan sana ada wanita itu, dari raut wajah, sepertinya ia mendengarnya. Ya tuhan. Kakiku refleks mengejarnya, namun ia lebih dulu masuk ke sebuah taksi. Aku berhenti melangkah, menengok ke belakang, lalu menoleh kembali ke posisiku sekarang.

Ini terasa aneh dan seperti bukan aku. Seakan tenggelam dengan rasa-rasa bersalah karena membiarkan orang lain menggosipkan dia, mencampuri urusan orang lain dengan berempati kepadanya.

Apa aku baru saja terganggu akan sesuatu?

•••

Yi-seo POV

Hari-hari berlalu dengan sama setelah aku mendengar gosip yang bahkan menarik perhatian anak kecil. Tidak masalah. Aku sudah sering mengalami hal seperti ini. Mendengarkan bagaimana orang-orang mendefinisikan seorang Jeong Yi-seo sebagai sosok tidak ramah, tidak baik, dan tidak punya masa depan.

Angin hari ini cukup kencang. Aku menutup jendela dan menatapi pemandangan aktivitas berbagai manusia di luar gedung apartemen.

"Kita putus."

Aku menghela napas. Otakku kembali membawa kilas balik di hari ketika aku dicampakkan. Lelaki itu berkata dia sudah tidak bisa mengharapkan apapun lagi dariku. Dengan meninggalnya ibuku, di hari yang sama lelaki itu berkata sesuatu yang jahat dan pergi.

"Kini kau yatim piatu, gak punya pekerjaan, gak ada yang bisa ku banggain dari kamu, nanti ngenalin ke keluarga aku, gimana?"

Sialnya aku menangis 10 malam karena ditinggal ibuku, sekaligus lelaki bangsat itu. Setelah 3 bulan aku sudah lebih tenang, dan memutuskan pindah dari wilayah itu. Memilih meninggalkan semua kenangan buruk disana. Meski usahaku tidak membuahkan apapun.

Tok tok

"Permisi, halo?"

Mataku mengerjap beberapa kali, berpikir apakah aku memesan paket dan datang hari ini? Tidak, aku tidak memesan apapun. Apa satpam? Tunggu, aku tidak ada urusan apapun dengan siapapun.

"Ini aku tetangga depan."

Ah, dia...

Aku membuka pintu. Tiba-tiba aku disodorkan sebuah apel. Sembari ia berkata, "aku minta maaf."

"Aku kepikiran. Awalnya kupikir aku gak salah karena yang menggosip itu mereka, tapi aku sadar, aku juga salah karena gak menghentikan mereka meski hanya anak-anak kecil. Maaf, tolong terima apelnya, ini gak beracun." Ujarnya dan menjadi kalimat terpanjang yang pernah kudengar selama tiga bulan belakangan.

Tanpa sadar tanganku menerima apel darinya, sepertinya aku harus mengucapkan sesuatu, "terima kasih karena sudah meminta maaf." Ucapku agak ragu apa itu perkataan yang tepat.

Ia mengangguk pelan, permisi pamit, dan balik ke kamarnya. Aku menutup pintu dan menatapi apel itu. Mencoba menebak apa yang tengah kurasa. Lega. Bersyukur. Sesuatu yang membuat senyum terukir. Sebelumnya, aku yang selalu meminta maaf, rasanya sungguh lega setelah menerima permintaan maaf dari orang lain.

Ka-talk!

Notifikasi dari ponselku berbunyi. Satu pesan KakaoTalk masuk. Senyumku memudar, dia menghubungiku lagi, si bangsat itu, Ko Yeong Chan, mantanku.

---

"Berikan." Ucapku meminta barang peninggalan orang tuaku yang tertinggal padanya.

Aku sempat menolak, bahkan aku tidak sudi mendapatkan pesan darinya. Namun kami duduk berhadapan di Cafe ini hanya untuk kalung milik orang tuaku.

"Jeong Yi-seo, kau tidak kesepian?"

Perasaanku kembali terluka. Satu kalimat itu membawaku ke hari kematian ayah dan ibuku. Hari terburuk dalam hidup 27 tahunku ini.

"Haruskah aku membantumu, Yi-seo?" Tuturnya lagi.

Apa hidup selalu seperti ini? Selalu dijatuhkan setelah aku merasakan perasaan baik yang menyejukkan hati.

Kenapa ada saja di dunia ini orang-orang yang selalu bersikap seperti ini? Kalian paham maksudku?

They always come back, when you learn to stop needing them.

•••

Heon POV

Aku melihatnya. Hari itu mereka berdua duduk berhadapan. Ekspresi sakit hati dari wanita itu kembali membuatku terganggu. Risih rasanya ketika kehidupan normal sehari-hari milikku terganggu, meski itu hal kecil. Tapi aku juga gak paham, kali ini bener-bener rasanya mau narik pergi wanita itu— tetangga depannya.

Namun tak kulakukan. Akal sehatku berkata bahwa ini bukan waktu yang tepat.

Hari ini, sekitar seminggu telah berlalu. Aku hendak pergi menuju swalayan. Stok bahan makanan sudah hampir habis. Dengan membawa payung karena hujan. Kenapa ramalan cuaca selalu salah?

Aku naik ke lift dan turun ke lantai paling bawah. Di depan pintu masuk, aku melihat dia, si tetangga. Ia hanya berdiri melihat kearah hujan.

"Mau kemana?" Tanyaku bersuara.

Ia menoleh, "ke swalayan."

"Kalau gitu ayo barengan, payungnya."

"Apa? Ah, gak per-"

Sudah kutebak ia akan menolak, jadi langsung kutarik (tidak kasar) lengan bajunya. Mau tidak mau ia mengikuti. Kami berbagi payung dan berjalan bersama. Dalam waktu 5 menit, kami sampai depan toko.

"Terima kasih."

Aku mengangguk, "tapi boleh saya bilang sesuatu?" Ada hal yang benar-benar ingin kukatakan kepadanya. Ia menghentikan langkahnya dan menunggu aku bicara.

"Jangan biarin orang lain mendefinisikan hidup kamu. Satu-satunya yang bisa mendefinisikan diri kamu, cuman kamu doang. Jangan dengerin orang-orang mau bilang apa. Paham kan?"

Ia mengangguk pelan.

Kutarik senyum tipis, "kalau gitu selamat berbelanja." Ucapku dengan perasaan lega.

Ini bukan hanya terjadi pada wanita itu. Dirinya pun pernah ada di posisi ini. Bersembunyi dibelakang orang-orang yang mendefinisikan hidup kita, secara sembarangan. Hal yang kita lakukan hanya diam, pura-pura tidak tahu, dan memakan semua rasa sakit hati sendirian. Kini aku sudah lebih baik dari aku yang di waktu itu. I won't let them.

Don't allow people define you.
You define you. Okay?

•••

Yi-seo POV

Hari itu aku dan pria yang bernama Lee Heon hampir kembali berbagi payung. Namun untung aku tidak lupa beli payung di swalayan, kami pulang dengan payung masing-masing.

Hari itu ketika di perjalanan kembali ke gedung, Heon berkata bahwa ia melihat aku dengan si bangsat di Cafe, dan tidak sengaja juga mendengar percakapan kurang baik kami.

"Aku juga tahu kalian akan bertemu lagi besok, jadi, boleh aku bilang sesuatu lagi?"

Sekarang adalah hari dimana aku dan Ko Yeong Chan akan kembali bertemu— karena ia yang memaksa. Akan aku pastikan, bahwa kali ini adalah yang terakhir.

Kata 'menang' dan 'kalah' selalu si bangsat itu ucapkan, meski sering dalam kosa kata lain, memang ciri khasnya. Pertemuan sebelumnya, ia banyak menyinggung sinonim 'kekalahan' terhadapku. Bahkan kini, ia masih belum puas melontarkan banyak sinonim 'kekalahan' pada percakapan ini.

Ah, apa bisa disebut percakapan? Soalnya hanya dia yang bicara.

"Yi-seo, kau dengar? Kubilang jabatanku sangat melejit setelah pisah denganmu, namun, karena sendiri, aku jadi sering kerepotan. Ayo balikan. Ku jamin hidupmu tidak akan pernah susah. Kau terlihat begitu lusuh. Aku iba. Kali ini, ayo kita tinggal bersama."

Bangsat-bangsat-bangsat.

"Sudah bicaranya?"

"Apa?"

"Aku mau bicara, namun dari tadi mulutmu tetap mengoceh." Akhirnya dia mengunci mulutnya dan membiarkan aku bicara. Entah kenapa ada satu hal yang kuingat dimomen ini, satu kalimat dari seseorang yang baru ku kenal selama kurang lebih satu bulan terakhir.

"Ko Yeong Chang, inget dulu selalu kamu selalu bertumpu sama kalah menang, kan? Sampe sekarang masih begitu? Beberapa hari belakangan aku ngerasa bodoh banget karena nangis alih-alih jambak rambut kamu dulu. Merendahkan, kekerasan sampai beberapa tubuh aku biru, setiap hari denger kata-kata kasar, bego banget."

"Sayang, kenapa inget yang gak baiknya doang? Kan..."

Malas, aku menghiraukan ucapannya itu, "Tapi tau gak? berkat seseorang aku sadar, meski tiga bulan lalu kayak orang bego yang nangisin putusnya hubungan toxic ini, tapi sekarang aku baik-baik aja sama kehidupan aku." Aku menghela napas karena capek dan mau buru-buru selesai.

Aku melanjutkan, "Kita udah putus, gak ada lagi yang perlu dibahas, dan sebutan itu bikin mual." Dengan sadar aku memiringkan senyum tipis, "Dan, Ko Yeong Chan, nyadar gak sih? Sekarang yang minta-minta itu bukan aku." Aku berdiri, "akuin aja, akhir dari lembaran kisah dulu, bukan kamu, tapi aku yang menang."

Setelah itu aku berlalu dari sana. Membuat semuanya jelas. Semua berkat ucapan hangat dari Lee Heon.

I lost you.
But, i found me.
So, i win.

•••

Heon POV
 
Pagi dihari sabtu, aku mendengar suara ketukan pintu, ada Yi-seo di depan sana. Aku menunggu hal apa yang hendak ia sampaikan, namun, sampai satu menit, Yi-seo benar-benar tidak bersuara. "Gak ada yang mau diomongin?" Itu biasanya aku keluarkan ketika mengalami situasi seperti ini. Tidak peduli dengan kesan judes yang seringkali aku alami, tapi ya gak peduli.

"Ada yang mau kamu omongin?" Alih-alih ucapan yang sering aku gunakan. Aku mengubahnya dengan ini, tanpa sadar. Kesadaranku muncul seketika, apa ini?
 
"Anu, mau minum kopi bareng?"

"Mau, tunggu sebentar." Ucapku lalu menutup pintu untuk sekedar mengganti baju. Apa kalian tahu? Persetujuan itu juga kuucapkan tanpa sadar, aku hanya menjawabnya tiba-tiba tidak berpikir dahulu seperti biasanya.

Sudah gila, kau kenapa Heon?

---

"Makasih banyak." Tutur Yi-seo dengan halus. Seakan ia benar-benar telah melalui banyak hal dan kini masalahnya itu sudah berlalu dengan baik. Bersamaan dengan raut wajah yang penasaran mengapa aku begitu peduli kepadanya.

"Aku juga pernah disituasi beracun seperti itu. Aku juga pernah merasa sangat-sangat kesepian, merasa rendah, dan bersedih dalam waktu yang lama. Gak ada satu orang pun disana, yang bilang 'gapapa, heon, everything will be okay'. Dan itu sulit banget, Yi-seo."

"Makasih sekali lagi udah peduli."

"I'm glad if you're okay now."

Yi-seo menarik garis senyum pada sudut bibirnya. Seperti orang yang amat berbeda ketika pertama kali bertemu denganku, dia sepenuhnya menjadi sosok baru yang kini lebih menyayangi dirinya sendiri.

"Ah, profesinya apa?" Tanya wanita itu

"Guru. Kamu?" Aku melemparkan pertanyaan yang sama.

"Pengangguran." Yi-seo tertawa akan jawabannya sendiri, "tapi aku tertarik sama dunia modeling sama fashion."

"Pantes."

"Ya?"

"Dari awal kita ketemu, dari kepala sampe kaki, kamu kayak punya gaya penampilan sendiri."

"Iyakah?"

Kami lanjut berbincang seraya menghabiskan kopi masing-masing. Ternyata tidak seburuk itu berkomunikasi dengannya. Entah kenapa perbincangan kami sangat klop dan nyaman pagi hari itu, sampai tidak sadar kami berbincang hingga sore hari.

Heon orang yang sering lelah bahkan ketika sedikit beraktivitas. Ia sangat sadar akan hal itu. Namun, ia sama sekali tidak merasa lelah, seakan energinya bertambah ketika menghabiskan waktu bersama Jeong Yi-seo.

Saat itu juga pria itu sadar dan menyerah akan delusi miliknya. Heon mengakui kepada dirinya sendiri bahwa ia tertarik dengan Yi-seo, pria itu menyukai wanita yang tinggal di depan unitnya ini.

Well, do you believe?
Sometimes love didn't meet her at her best, it meet her at her mess.

•••

Yi-seo POV

"Heon-a." Lee Heon menoleh saat aku memanggilnya.

Sudah beberapa bulan sejak aku pindah kesini. Banyak yang berubah. Hari-hari mulai dipenuhi senyum. Ayah, Ibu, sepertinya aku tidak lagi sendiri.

"Udah pulang?" Tanyaku. Heon mengangguk. "Aku mau ke market, ada yang mau dititipin gak?" Tanya aku lagi.

Heon menggeleng dan menghampiri, "Mau ikut aja ke market." Dengan begitu kami berjalan menuju market berdampingan.

"Hari ini gimana?" Heon bertanya. Aku tersenyum. Sejak sebulan lalu dia selalu menanyakan hal ini setiap kami bertemu.

Aku mulai kerja paruh waktu untuk kebutuhan sehari-hari. Sekaligus mulai karir, mendaftar sebagai model, namun seringkali ditolak.

"Kalo hari ini aku diterima."

Alis pria itu terangkat, nampak kaget, "serius?" Aku menjawab dengan anggukan. "Selamat, Yi-seo!" Serunya.

Aku berterimakasih, "dari kenalan, temen dia butuh model untuk pakaian desainnya."

"Kamu bakal bekerja dengan baik." Heon mengacak kecil pucuk kepalaku. Membuat kupu-kupu seakan berterbangan.

Kami melanjutkan belanja di market dan kembali menuju gedung untuk pulang. Namun, suara yang tidak asing memanggil namaku, kami berdua menoleh.

Lagi-lagi, Ko Yeong Chang. Kini ia datang tidak dengan wajah angkuhnya. Karena itu aku tidak bisa menebak tujuan dia kesini.

Heon melangkah, menyembunyikanku dibelakangnya. "Ada urusan apa lagi? Sepertinya kalian berdua udah gak ada urusan lagi, benar?" Aku mengangguk saat Heon menoleh ke arahku dengan ekspresi bertanya.

"Aku tahu. Tapi tetep saja. Yi-seo, bisa kita bicara?" Ucap Yeong Chang sangat halus. Selama aku mengenalnya, dia tidak pernah bicara sehalus ini.

Aku keluar dari persembunyian di belakang Heon, "Oke, ayo kita bicara."

"Yi-seo-ya!"

Mataku menatap Heon, "hanya sebentar, aku bakal balik." Aku tahu Heon khawatir jika berurusan dengan mantanku lagi. Maka dari itu aku berusaha untuk meyakinkannya. Heon percaya.

---

"Ada apa?" Tanyaku tenang. Aku tidak berniat untuk bertengkar, benar-benar hanya bicara.

"Tentang hubungan kita."

Jujur aku sudah menduganya.

"Udah selesai."

"Aku beneran nyesel-"

Tanganku meraih tangan Yeong Chang yang menggenggam kopi panasnya. "Hei. Beneran kamu nyesel?" Tanyaku hati-hati, tidak ingin memancing tempramen pria itu. Yeong Chang mengangguk.

"Tapi, aku harap kamu bisa ngerti. Kita beneran udah selesai. Sekarang aku udah hidup lebih baik, sesuai yang aku pengen. Tolong jangan maksain ini lagi. Aku seneng kamu udah sampe ditahap bisa ngaku sama kesalahan kamu, semoga kamu bisa dapet yang lebih baik." Tuturku panjang kemudian melepaskan genggaman itu.

Ia melihatnya, seakan paham, "udah beneran gabisa diperbaiki lagi, ya?"

Aku mengangguk.

"Cowok tadi itu pacar kamu?"

Aku menggeleng, "tapi aku suka sama dia, lagi nyari waktu buat confess aja."

"Sejak kapan?"

Kalau dipikir-pikir, aku juga gak tau sejak kapan ia suka dengan Heon. Pria itu hanya selalu disampingnya, jadi sosok yang hangat untuk aku yang hendak sembunyi dari kehidupan. Heon such a good summer to my winter days.

•••

Heon POV

Aku menunggunya. Mereka seperti bicara sesuatu yang serius. Seperti orang bodoh, aku menatapi mereka bahkan hujan tidak membuatku gentar. Setelah berdiam tiga puluh menit menunggu Yi-seo, akhirnya mereka keluar dari tempat itu.

"Lee Heon?" Yi-seo nampak kaget melihatku diguyur hujan. Bahkan mantannya juga terlihat heran.

"Anda nungguin kami?" Tanya Yeong Chang. Dia tersenyum tipis, "kalian beneran gak bisa dihentiin toh." Ia bergumam.

Aku mendengar dan paham maksud gumam kecilnya itu. Bener, gak ada yang bisa berhentiin aku. Aku suka sama Yi-seo dan gak bakal relain dia untuk siapapun. Bahkan kalo aku jadi orang bodoh, perasaan ini udah gak bisa dihentiin.

Sebel. Aku tidak menggubris Yeong Chang dan membawa Yi-seo pergi dari sana. "Udah selesai bicaranya, kan?" Aku meraih pergelangan tangan Yi-seo, "ayo pulang."

Kami memasuki gedung dan naik lift untuk ke unit masing-masing. Aku melepas genggaman tangan kami ketika sudah di depan unitnya. "Maaf, kamu jadi kena hujan juga. Langsung mandi, jangan kena flu, ya." Tanganku menyentuk pucuk rambutnya yang agak basah karena hujan.

"Heon, kenapa kamu nungguin?"

"Soalnya gak tenang. Udah masuk gih."

Hatchi!

Gawat.

"Tuh kan! Aduh Heon, malah kamu yang kena!" Ucap Yi-seo panik.

Aku tertawa kecil, "nanti aku mandi air hangat, gak usah khawatir." Lalu memaksa Yi-seo masuk ke unitnya dan aku ke unitku.

Setelah mandi aku merebahkan tubuh. Masih merasakan demam, aku gak punya obat, di luar masih hujan, dan kakiku mulai lemas meski sudah mandi. Gawat sudah.

Tiba-tiba pintu terbuka dan terlihat bibi unit atas dengan Yi-seo masuk. "Kenapa kalian kesini? Hatchi-!"

"Kenapa lagi? Yi-seo panik gedor-gedor unit bibi, katanya kamu sakit, tapi gak mau tau sandi unit kamu, jadinya bibi ikut kesini." Tutur bibi dengan nada malasnya.

Yi-seo nampak gak enak kepada bibi, dan berterimakasih. Lalu ia meletakkan bubur serta obat demam di atas meja. "Ini dimakan ya, obatnya juga. Udah, Bi. Ayo keluar."

"Gitu doang?" Tanya bibi heran.

Yi-seo pun bingung.

"Heon lagi sakit loh, suruh makan sendiri?" Tanya bibi dan memberikan kode. Aku menangkapnya!

"Kayaknya dia bisa makan sendiri...?"

"Yi-seo, tolong bantu rawat aku." Aku meminta kepadanya dengan sisa suaraku yang mulai serak.

"Huh? Yaudah."

Sebisa mungkin aku menyembunyikan senyum, ini menyenangkan.

-

Yi-seo akhirnya setuju merawatku. Baru saja ia selesai menyuapi bubur kepadaku. Lalu ia membantu menyiapkan obat demam, aku meminumnya.

"Untung aja besok weekend. Kalau masih weekdays masa kamu absen. Lagi aku masih heran, kenapa kamu nungguin sampe hujan-hujanan gitu, sih? Kan bisa aja masuk ke dalem."

Ocehannya masih terlihat cantik. Heon, kayaknya kamu benar-benar jatuh cinta ya. Yi-seo mengikat rambutnya, kuncir kuda, mataku tidak bisa lepas darinya.

"Aku kan udah bilang, aku bakal balik, kamu tinggal percaya, gak perlu khawatir, gak perlu sampe kena hujan--"

"Aku suka sama kamu, Yi-seo."

Dia membeku seketika.

Sepertinya aku harus melanjutkan ucapanku, "waktu itu aku udah sampe depan gedung, tapi aku gak tenang, takut banget kamu bakal balik sama dia. Aku udah gak bisa nahan lagi. Maaf kalau ucapan aku ini tiba-tiba."

Yi-seo tersenyum, "aku setuju bicara sama dia karena pengen bener-bener selesaiin masalah kami, bikin dia paham, bukan hanya selesai secara sepihak."

Ia melanjutkan, "makasih udah bilang duluan, aku nyari momen pas, tapi kelewat terus. Heon, aku juga suka sama kamu, banget-banget."

Dengan satu pelukan. Akhirnya Heon dan Yi-seo, turn into lovers.

•••

Yi-seo dengan segala rasa takutnya bertemu Heon dengan sosok dewasanya. Mereka juga tidak pernah merencanakan perasaan yang sama ini. Namun, keduanya jatuh satu sama lain. Everyone, best people always come unexpectedly.

Terima kasih sudah membaca kisah singkat Lee Heon dan Jeong Yi-seo.

selesai.
•••

Postingan Populer