17.30
“Sendirian?”
Bulan yang tengah makan sendiri mengangkat kepalanya. Netranya melihat gadis yang nampaknya juga datang sendiri. Sebelum disetujui, ia duduk di hadapan bulan seraya meletakkan nampan yang berisi pesanan miliknya, “Nara. Aku makan disini juga. Gapapa, ya?” Tanya Nara.
Sudut bibir Bulan tertarik ke atas dan kemudian mengangguk, memberi izin. Bulan tidak terlalu merasa terganggu, entah mengapa. “Bulan. Kamu kenapa makan sendiri?” Tanya Bulan mencoba membuat percakapan agar tidak terasa sepi.
“Gak ada yang nemenin. Kamu?”
Pergerakan sendok makan milik Bulan terhenti. Begitu pula dengan aktivitas memakannya. “Soalnya kesepian. Haha.” Jawab Bulan diakhiri kekehan, “Bercanda.” Sambungnya.
Bagi Nara tidak terasa lucu sama sekali sampai ia tidak bisa tertawa. “Sini cerita, aku dengerin. Gak bakal ada komentar. Ceritain aja semua yang kamu rasa.”
Tawaran Nara tentu membuat Bulan membeku ragu. Lubuk hatinya tiba-tiba ingin menceritakan semua tanpa melewatkan apapun. Namun mulutnya sendiri yang menahan. Dengan orang terdekat saja tidak bisa cerita. Apa bercerita dengan stranger bisa? Ia menunduk, menatap sisa makanan, kemudian menghabiskannya tanpa buru-buru.
Nara pun ikut melanjutkan aktivitas makan, tanpa memaksa Bulan untuk bercerita. Menyadari tidak adanya paksaan, anehnya membuat Bulan merasa lebih aman. “Nara, kamu pernah denger validasi emosi?” Nara merespon dengan anggukan.
“Aku tipe yang sadar sama pentingnya hal itu, dan aku pinter ngelakuinnya. Lagi bahagia, marah, sedih, takut.” Bulan menghela napas panjangnya. Memberikan jeda sebelum ia lanjut bercerita, “Tapi anehnya, aku paling bingung gimana cara validasi perasaan sepi ini.”
Gadis bernama Nara itu benar-benar diam selama Bulan bercerita. Tidak mendesaknya untuk terburu-buru. Membiarkannya selalu memberikan jeda pada setiap kalimatnya, membiarkan Bulan meluapkan dengan nyaman.
“Keluarga? Alhamdulilah lengkap dan sehat. Saudara? Gak usah ditanya, rame. Kakak ada dua, adik ada tiga. Mungkin gak punya temen cerita? Jangan salah, aku punya. Dengan dunia aku yang seramai itu, aku gak bisa cerita emosi ini ke orang-orang terdekat.” Bulan memainkan jarinya seraya bercerita. Tidak ada ekspresi yang dapat dideskripsikan. Terlihat sedih, bukan. Terlihat senang, bukan. Terlihat bingung, juga bukan.
“Aku sempet bertanya-tanya, apa penyebab kenapa aku kayak susah banget cerita. Dan kamu tahu?” Ekspresinya berubah. Bulan tersenyum tipis. “Waktu berlangsungnya selalu sebentar dan gak jelas sama sekali. Lagi diem, perasaan ini muncul. Pas lagi denger lagu yang nuansanya cerah ataupun suram, muncul beberapa menit, setelahnya hilang lagi. Bahkan ditengah-tengah aku lagi ngumpul sama keluarga, rasa kesepian ini juga muncul. Aku gak bisa tahu pasti apa penyebab munculnya.”
Ekspresi Bulan kembali berubah lebih murung, “Aku takut dianggap aneh. Apalagi kalau cerita ke keluarga. Serasa bukan hal yang terlalu penting untuk diceritakan. Kalau ke sahabat...” Gadis itu menundukkan pandangannya, “Aku cukup yakin mereka bakal bereaksi sama kayak kamu. Diam, mendengarkan dengan seksama. Tapi, belakangan kita lagi sibuk sama urusannya masing-masing. Aku ngerasa segan.”
Nara tersenyum, “Rejeki kamu ketemu aku, jadi bisa curhat, walaupun orang gak dikenal.” Bulan ikut tersenyum, “Bener. Oh iya, kamu sendiri gak ada yang mau diceritain?” Gelengan kepala menjadi respon Nara, berarti tidak ada hal apapun yang ingin diceritakannya.
“Kakak!”
Mendengar suara adik terkecilnya memanggil. Bulan membuka matanya. Matanya cukup berair. Daftar lagu yang diputarnya belum berhenti. Sekarang pukul 17.30, Bulan tidak tengah tertidur.
Bulan hanya membayangkan ada seseorang yang dapat mendengarkan semua perasaan yang bahkan belum bisa ia validasi sendiri. Suatu hari nanti.